Welcome To My Imajination

Selamat Datang di Dunia 3Dimensi
Terima Kasih Sudah Berkunjung Saya berharap Blog ini bisa tampil lebih baik lagi tentunya harapan itu merupakan harapan kita semua.. karna itu saya butuh Masukan, Kritikan dan Saran dari teman-teman semua untuk memaksimalkan isi blog ini, sekali lagi Selamat Berkunjung semoga blog ini bermanfaat bagi anda...
@ Creat: By Abank.

Selasa, 22 Oktober 2013

Arsitektur dan Sabun

GARASI


“Nature is not copied but made comprehensible”- Frei Otto
Mengutip pernyataan dari seorang arsitek Jerman- Frei Otto, kita dapat mempelajari bahwa arsitektur dapat menjadi suatu alat untuk memahami kekuatan-kekuatan alam yang terjadi di sekitar kita. Ketika kita berbicara mengenai sabun, kita mengasosiasikannya dengan air, mandi, licin, busa dll. Namun terdapat karakteristik dari sabun yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan juga tidak dapat kita rasakan begitu saja. Karakteristik tersebut misalnya adalah bagaimana sabun dapat terbentuk dan bagaimana bubbles yang dihasilkan dapat mempertahankan bentuknya yang bulat meskipun memiliki layer yang sangat tipis. Mengapa bubble memiliki bentuk bulat? Mengapa tidak berbentuk kubus, limas, piramid atau bentuk geometris lainnya? Hal ini menjadi menarik untuk dibahas. Seingat saya ketika mempelajari mengenai bubbles adalah bahwa hal ini dikarenakan internal forces berupa surface tension dari bubbles tersebut. Tension dari layer bubble berusaha untuk menyusutkan bubble menjadi bentuk geometris yang memiliki surface area paling kecil yaitu bentuk bulat ini. Coba saja kita meniup bubbles. Pertama-tama bentuknya mengalami suatu distorsi dan lambat laun ketika seluruh permukaan bubbles bersentuhan dengan udara, maka bentuknya berubah menjadi bulat karena harus mempertahankan surface area yang minim (lihat tahapan pembentukan bubbles dari bentuk tak beraturan sampai menjadi bulat yang sempurna pada Gambar1). Dari sini kita dapat menemukan bahwa bentuk bubbles tidak melulu berbentuk bulat. Sebenarnya bubbles juga dapat diciptakan menjadi bentuk-bentuk geometris lain seperti kubus maupun tetrahedron namun harus ada external force (gaya dari luar) yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Lalu bagaimana fenomena ini dapat diterapkan dalam arsitektur?

Karakteristik dimana layer yang sangat tipis dapat menjadi kuat diaplikasikan pada atap Munich Stadium oleh Frei Otto. Apabila kita melihat gambar stadium ini, bentuknya tidak bulat seperti bubble namun mengambil karakteristik desain dengan menggunakan minimal surface seperti pada bubble sabun. Munich stadium memiliki bentang lebar (1443 kaki) sehingga Otto memperlakukan atap seperti layer bubble yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga tension dari material fabric yang digunakan dapat membuat struktur menjadi stabil. Karena fabric ditahan oleh struktur berupa kabel maka bentuk atap dapat menajdi macam-macam (tidak hanya bulat). Maka aplikasi dimana bubbles dapat dibentuk menjadi bentuk yang bermacam-macam asal ada external force yang menyebabkannya dipalikasikan pada atap stadium ini. Kabel ini menjai suatu external force yang dapat mempertahankan atap dengan layer yang sangat tipis supaya dapat tetap berdiri (tidak collapse). Ini merupakan salah satu contoh bagaimana arsitektur dapat berperan untuk memahami fenomena alam dari soap bubbles yang ada di sekitar kita. Kita juga dapat meneliti lebih lanjut mengenai proses pembuatan sabun untuk mengahasilkan suatu karya yang baru.

Referensi: http://www.exploratorium.edu/ronh/bubbles/

Geometri Tanpa Batas

GARASI

Leonardo Da Vinci : Geometri Tanpa Batas

Filed under: classical aesthetics,process — miktha24 @ 08:36 
Tags: 
Leonardo Da Vinci : seorang buta huruf. Benarkah ??? Demikianlah sebaris teks terjemahan yang tersebutkan dalam buku “Sains Leonardo “ karangan Fritjof Capra di baris pertama halaman dua pada bagian pendahuluan. Sebuah buku yang mencuri perhatian saya akan keagungan sejati dari sang Genius Leonardo Da Vinci- sang Penafsir alam semesta yang terus mengiangi pikiran sadar saya dalam kelas Geometri dan Arsitektur. Omo sanza lettere,begitulah kira-kira teks aslinya. Namun, itu bukan soal yang harus digarisbawahi karena quotes itu melainkan hanya semacam ironi dan kebanggaan Leonardo atas metode barunya. Sehingga saya pun ikut tergelitik untuk meng-copy paste teks itu dan menaruhnya pada bagian awal tulisan ini.
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Leonardo adalah representasi peradaban sintesis antara sains dan seni, atau lebih ekstrim lagi bahwa sesungguhnya Leonardo adalah pendiri sejati sains modern, bukan Galileo Galilei yang selama ini diagung-agungkan. Mengapa tidak ? andai saja para pemikir ilmiah barat telah menemukan notebook nya yang memuat kurang lebih 13.000 halaman dan langsung mempelajarinya secara detail setelah kematiannya.  Karya-karyanya yang sungguh luar biasa membuktikan kepada kita bahwa betapa imajinasi itu tanpa batas dan bisa melampaui pengetahuan yang ada. Namun, tidak banyak yang tergerak untuk mempelajari karyanya pada masa itu (masa Renaisans) karena belum terekspos, barulah beberapa abad setelah kematian nya, transkrip-transkrip ilmiahnya tergali dan memberikan dentuman yang sangat keras di tiap masanya dengan berbagai karya disiplin ilmu.
Salah satu yang menjadi ketertarikan saya adalah  bagaimana Leonardo mengeksplorasi bentuk geometri dalam kajian ilmiahnya. Ada tiga jenis transformasi kurvilinear yang sering digunakan Leonardo dengan berbagai kombinasi. Pada jenis pertama, sebuah bentuk dengan satu sisi kurvilinear digeser ke sebuah posisi baru sedemikian sehingga kedua bentuk itu saling overlap (lihat gambar 1). Karena kedua bentuk tersebut identik, dua bagian yang tersisa ketika bagian yang dimiliki bersama itu (B) dikurangi, pasti mempunyai luas yang sama (A=C). Teknik ini memungkinkan Leonardo mengubah bidang apa pun yang dibatasi oleh dua kurva identik menjadi sebuah bidang segi empat, artinya, “mengubah menjadi segi empat”.
Gambar 1 : Transformasi dengan translasi (pergeseran)
Transformasi jenis kedua diperoleh dengan memotong sebuah segmen dari suatu bentuk tertentu, misalnya sebuah segitiga, dan kemudian melekarkannya lagi pada sisi yang lain (lihat gambar 2). Bentuk kurvilinear yang baru, mempunyai luas yang sama dengan  segitiga awal. Seperti diterangkan oleh Leonardo dalam teks yang menyertainya: “Aku akan mengambil b dari segitiga ab, dan aku akan melekatkannya lagi pada c…Kalau aku melekatkan lagi kepada suatu bidang apa yang telah kuambil darinya, maka bidang itu kembali pada keadaan semula”. Ia sering menggambar segitiga-segitiga kurvilinear semacam itu, yang diberi nama falcate(falcates), diturunkan dari istilah falce, kata dalam bahasa Italia yang berarti sabit (scythe).
Gambar 2 : Transformasi sebuah segitga menjadi falcate
Transformasi jenis ketiga Leonardo melibatkan deformasi bertahap dan bukannya gerakan bentuk-bentuk tetap, misalnya, deformasi sebuah persegi panjang, seperti ditunjukkan dalam gambar 3. Kesetaraan kedua bidang datar ditunjukkan dengan membagi persegi panjang menjadi potongan-potongan tipis paralel, dan kemudian mendorong setiap potongan ke posisi baru, sehingga kedua garis lurus vertikalnya berubah menjadi kurva.
Gambar 3 : Deformasi sebuah persegi panjang
Leonardo begitu senang dalam menggambar berbagai variasi tanpa akhir persamaan topologis ini, sebagaimana para matetmatikawan Arab pada abad-abad sebelumnya takjub ketika mengeksplorasi berbagai variasi persamaan aljabar. Namun yang khas dalam geometri Leonardo adalah variasi bentuk-bentuk geomteris tanpa batas di mana luas atau volum selalu dipertahankan, dimaksudkan untuk mencerminkan transmutasi tanpa lelah pada bentuk-bentuk alam yang hidup, dalam kuantitas materi  yang tak terbatas dan tak berubah.
Satu lagi metode disain yang dapat menjadi terapan dasar eksplorasi kita dalam studio perancangan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan kita dapat menemukan ragam bentuk dan konsepsi yang lebih kaya lagi dari tipologi geometri Leonardo ini. Oleh karena itu, saya menyarankan kenapa kita tidak mencobanya…
(Sumber  : Saduran dari buku “Sains Leonardo : Menguak Kecerdasan Terbesar Masa Renasisan” karya Fritjof Capra, 2007)

Senin, 30 September 2013

Geometri: Aturan-aturan yang Mengikat Bentuk Arsitektur

GARASI

Geometri: 

Geometri Secara Makro

Geometri merupakan suatu dasar pemikiran akan bentuk, mulai dari bentuk yang ada pada alam hingga bentuk yang merupakan suatu arsitektur. Namun apakah setiap bentuk dalam arsitektur pasti terdiri dari elemen geometri? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, maka sebaiknya dikenal lebih dahulu apa itu yang disebut dengan geometri. Menurut World Book Encyclopedia, geometri didefinisikan sebagai berikut:
Geometry is a branch of mathematics. It involves studying the shape, size, and position of geometric figures. These figures include plane (flat) figures, such as triangles and rectangles, and solid (three-dimensional) figures, such as cubes and spheres ” (The World Book Encyclopedia, 1993)
Dalam definisi tersebut, dijelaskan bahwa geometri merupakan suatu ilmu matematika yang sangat terkait dengan bentuk, ukuran, dan pemposisian. Definisi ini sangat luas, sehingga dengan hanya berpedoman pada definisi ini, maka tiap bentuk dapat dikategorikan sebagai suatu geometri dan juga terdiri dari elemen geometri. Josef Muller-Brockmann menjelaskan bahwa dalam geometri: “The proportions of the formal elements and their intermediate spaces are almost always related to certain numerical progressions logically followed out” (Elam, 2001: 5).
Menurut penjelasan tambahan dari Muller-Brockmann, proporsi dari elemen formal dan ruang dalam geometri selalu terkait dengan perhitungan numerik yang logis. Sebagai salah satu ilmu matematika, geometri tentunya memiliki aturan-aturan yang membatasi bentuk yang dimilikinya.
Dengan sifat bentuk geometri yang terkait dengan elemen numerik dan harus memiliki suatu bentuk yang logis, maka variasi bentuk pada geometri pun menjadi berkurang. Objek-objek yang bersifat abstrak, cenderung memiliki bentuk yang tidak logis dan tidak dapat didefinisikan sebagai bentuk numerik. Hal ini dikarenakan elemen-elemen pembentuknya tidak terukur. Oleh karena itu objek-objek ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk geometri.

Geometri dan Arsitektur

Pengertian arsitektur yang terdapat dalam buku Hybrid Space adalah: “The art or science of building; specify: the art or practice of designing structures and esp. inhabitable ones” (Zellner, 1999: 9). Pengertian ini lebih menyempitkan pengertian arsitektur sebagai suatu seni. Suatu seni tentunya ditujukan untuk dapat menghasilkan suatu yang memiliki nilai keindahan.
Kimberly Elam mengemukakan bahwa “Architecture has some of the strongest educational ties to geometric organization because of the necessity for order and efficiency in construction, and the desire to create aesthetically pleasing structures” (Elam, 2001: 101). Ia menjelaskan bahwa arsitektur memiliki hubungan yang kuat dengan geometri. Salah satu yang menghubungkan antara kedua hal ini adalah nilai estetis.
Dari pendapat di atas didapat bahwa geometri dapat menjadi salah satu elemen yang dapat menjadikan suatu karya arsitektur memiliki nilai estetis. Tapi tentunya untuk menimbulkan nilai estetis ini, maka karya arsitektur tersebut kemudian dibatasi dengan aturan-aturan geometri yang ada. Dengan adanya aturan ini, bentuk yang dihasilkan menjadi terikat. Salah satu contoh lain aturan geometri adalah golden section.
Arsitek romawi bernama Marcus Vitruvius menjelaskan bahwa pembangun harus selalu menggunakan rasio yang tepat dalam pembangunan suatu kuil, sepertinya pernyataannya “for without symmetry and proportion, no temple can have a regular plan” (Vitruvius, 1960). Tiap kuil yang ada pada saat itu, harus menggunakan aturan golden section, sehingga bentuk kuil pada saat itu tidak beragam dan memiliki standar yang sama. Dengan bentuk yang dibatasi oleh aturan golden section tersebut, tentu saja para arsitek pada saat itu tidak dapat mengeluarkan ide kreatif mereka, sehingga keragaman arsitektur pada saat itu sangat berkurang.
The purpose of geometry of design is not to quantify aesthetics through geometry but rather to reveal visual relationships that have foundations in the essential qualities of life such as proportion and growth patterns as well as mathematics. Its purpose is to lend insight into the design process and give visual coherence to design through visual structure. It is through this insight that the artist or designer may find worth and value for themselves and their own work”(Elam, 2001: 5).
Penjelasan Kimberly Elam menyangkut fungsi geometri di atas, menjelaskan bahwa geometri memiliki fungsi yang relevan dalam memperlihatkan hubungan visual suatu objek dari segi proporsi, dan juga pola perkembangan objek tersebut.
Hal ini juga banyak diterapkan oleh bangunan pada saat itu. Pada saat itu, lukisan dan bangunan yang tidak menggunakan prinsip geometri tidak dapat dianggap suatu yang indah. Banyak lukisan-lukisan dan bentuk yang tidak menggunakan aturan geometri. Walaupun tidak menerapkan aturan ini, lukisan ataupun bentuk tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu yang indah. Terlihat bahwa kaidah geometri dalam suatu desain dapat membatasi variasi desain yang dihasilkan. Selain dari penggunaan geometri sebagai pemvisualisasian hubungan dan proporsi dari suatu objek, geometri juga memiliki fungsi sebagai suatu kaidah yang digunakan untuk memberi ukuran pada bangunan dan bentuk.

Geometri Sebagai Pengukur

Le Corbusier menjelaskan bahwa: “Even the earliest and most primitive architect developed the use of a regulating unit of measure such as a hand, or foot, or forearm in order to systemize and bring order to the task. At the same time the proportions of the structure corresponded to human scale” (Elam, 2001: 22).
Dari penjelasannya di atas, Le Corbusier menganggap bahwa geometri sangat memiliki keterkaitan dengan ukuran, yang kemudian akan membentuk suatu aturan dalam bangunan tersebut. Dan ia juga menyebutkan bahwa proporsi suatu struktur, sangat berkaitan dengan skala manusia. Hal ini yang kemudian membentuk suatu aturan baru, yaitu bagaimana suatu struktur harus relevan dengan skala manusia sebagai pengguna struktur tersebut.
Anggapan Le Corbusier ini benar. Dalam penciptaan suatu ruang, maka arsitek harus menggunakan skala manusia. Namun, pada saat ini, ruang tidak hanya berfungsi sebagai wadah bagi kegiatan manusia, dan tidak seterusnya hanya bergantung kepada nilai fungsional. Kini aturan geometri yang dijelaskan Le Corbusier, sudah dapat dipatahkan, dengan adanya bentuk arsitektur yang tidak berlandaskan skala manusia. Dari paragraf di atas, terlihat sekali lagi bahwa geometri sebagai pembentuk aturan dalam bentuk, dapat mengikat hasil perancangan arsitektur.

Geometri dan Perkembangannya

Pada tahun 1545, Sebastiano Serlio mengemukakan bahwa: “How needful and necessary the most secret art of geometry is – without it the architect is no more than a stone despoil” (Evans, 1995: 26). Ia menganggap geometri sebagai sesuatu yang sangat diperlukan dan penting. Tanpa menggunakan kaidah geometri, maka seorang arsitek tidak lebih dari penyusun batu.
Anggapan Serlio tidak dapat dianggap benar pada saat ini. Kini pemaknaan dan pencarian bentuk semakin meluas dengan terus ditemukannya metode pencarian bentuk. Banyak munculnya metode baru tersebut, tiada lain dikarenakan perkembangan teknologi. Bart Lootsma mengemukakan bahwa: “The radicalization of modernity that has been triggered by the computer means that it has become increasingly difficult to fall back on traditions: more than ever, we must reflect on what the future will bring” (Zellner, 1999: 7).
Ia menjelaskan bahwa dengan adanya perubahan zaman, maka akan sulit jika kita kembali terikat dengan sesuatu yang konvensional dan tradisional. Sebaiknya segala sesuatu harus dapat merefleksikan apa yang akan dibawa oleh masa depan. Hal ini yang kemudian mematahkan anggapan konvensional Serlio mengenai geometri. Kini zaman telah berubah, sehingga dalam pencarian suatu bentuk, tidak harus digunakan kaidah-kaidah geometri. Banyak terdapat metode-metode lain yang dapat berbeda dengan prinsip geometri.
Peter Zellner mengemukakan bahwa: “Through visual and non-visual means of mobile cognition – satellite imaging, electron scanning or heat-sensing – structures and buildings are being set free from a conventional linear viewpoint. Buildings can become less like icons of fixity and immobility and more like inclusive fields of organized materialization ” (Zellner, 1999: 9).
Ia menjelaskan bahwa kini bangunan sudah terbebas dari pandangan konvensional. Dengan adanya teknologi-teknologi yang maju, kini pandangan linear sudah tidak dapat membatasi suatu bentuk. Begitu pula dengan kaidah geometri konvensional seperti golden section. Kini bentuk tidak dapat hanya dilihat dari satu tampak, namun suatu bentuk harus dicitrakan sebagai suatu kesatuan solid dengan tiga dimensi.

Geometri Topologi

Topologi, merupakan salah satu ilmu matematika yang berkaitan erat dengan geometri. Menurut Peter Zellner: “Topology involves the study of strange surfaces that can be transformed without collapsing or breaking because of the rubbery structure of their surfaces” (Zellner, 1999: 12). Menurutnya, topologi sangat berkaitan erat dengan transformasi bentuk. Tentunya topologi juga memiliki aturan dalam pengembangan suatu bentuk.
World Book Encyclopedia mendefinisikan topologi sebagai berikut. “Topology is a branch of mathematics that explores certain properties of geometrical figures. The properties are those that do not change when the figures are deformed by bending, stretching, or moulding ” (The World Book of Encyclopedia, 1993). Dari penjelasan ini terdapat aturan dalam proses transformasi, yaitu suatu objek hanya dapat di deformasi secara bending, stretching, dan moulding.
Aturan ini juga menyebutkan, dalam deformasi tersebut, tidak boleh terdapat suatu pemotongan. Hal ini dikarenakan keterkaitan topologi dengan istilah genus, yaitu jumlah rongga yang ada pada suatu objek. Yang ingin dijelaskan dari pengertian topologi ini adalah bagaimana sekali lagi suatu aturan dalam geometri dapat membatasi proses transformasi pada bentuk.

Kesimpulan

Dapat ditarik kesimpulan bahwa geometri sebagai objek secara otomatis sudah menjadi bagian dari suatu bentuk. Ia tidak mengikat bentuk pada arsitekur. Yang dianggap mengikat pada paragraf-paragraf di atas ialah aturan-aturan yang dimiliki oleh suatu bentuk geometri, sehingga aturan tersebut dapat membatasi penciptaan suatu bentuk baru pada arsitektur. Oleh karena itu, maka geometri dengan segala aturan-aturannya, dapat mengikat dalam penciptaan bentuk arsitektur, sehingga dalam pengembangan variasi bentuk arsitektur, tidak akan muncul sesuatu yang unik.

Referensi

Calter, P. (1998). Geometry in Art & Architecture. http://www.math.dartmouth.edu/ %7Ematc/math5.geometry/unit13/unit13.html

Elam, Kimberly. (2001). 
Geometry Of Design. New York: Princeton Architectural Press.

Evans, Robin. (1995). 
The Projective Cast : Architecture and its Three Geometries. London : The MIT Press.
The World Book Encyclopedia.(1993). United States of America.

Vitruvius. (1960). 
The Ten Books on Architecture.

Zellner, Peter. (1999). 
Hybrid Space: New Forms in Digital Architecture. London: Thames and Hudson.

Sumber :

Hardyanthony Wiratama

Jurnal Arsitektur Online, Volume 1 No 1 (2007)


http://www.arsitektur.net/2007-1-1/hardy_geometri.html
27 September 2009

Konsep dalam Arsitektur

GARASI


Konsep adalah gagasan yang memadukan berbagai unsur ke dalam suatu kesatuan. Dalam arsitektur, suatu konsep mengemukakan suatu cara khusus bahwa syarat-syarat suatu rencana, konteks, dan keyakinan dapat digabungkan bersama. Suatu konsep harus mengandung kelayakan, ia menunjang maksud-maksud dan cita-cita pokok suatu proyek dan memperhatikan karakteristik-karakteristik dan keterbatasan-keterbatasan yang khas dari setiap proyek.
Gagasan arsitektur adalah konsep yang telah disederhanakan menjadi soal arsitektonis formal seperti siang hari, ruang, urutan ruang, integrasi struktur dan bentuk, dan penapakan (siting) dalam bentuk alam.
Suatu tema adalah suatu pola atau gagasan spesifik yang berulang di seluruh rancangan suatu proyek.
Gagasan superorganisasi mengacu kepada konfigurasi geometris umum atau hirarki yang harus diperhatikan oleh bagian-bagian suatu proyek. Suatu gagasan superorganisasi memungkinkan variasi pola di antara bagian-bagian, hanya selama mereka memperkuat pola keseluruhan. Tujuan gagasan superorganisasi adalah untuk memberi cukup struktur bagi pola sedemikian rupa sehingga masing-masing bagian dapat dikembangkan dengan keistimewaan-keistimewaannya sendiri dan masih menunjang keseluruhannya.
Parti (skema) dan esquisse (sketsa) adalah produk menurut konsep dan grafik dari suatu metode pengajaran khusus, metode ini menghendaki agar dapat mengembangkan kecakapan konseptual sampai suatu tingkat yang tinggi.
Terjemahan harafiah adalah tujuan guna mengembangkan suatu konsep dan diagram yang dapat menjadi rencana yang disederhanakan untuk proyek yang bersangkutan.
Menurut Barnes: “Sebuah bangunan harus memiliki gagasan kuat yang lebih bersifat arsitektur daripada seni patung atau seni lukis- gagasan yang berhubungan dengan kegiatan dalam bangunan… Bila seorang arsitek bertanya pada arsitek lain: ‘Jenis bangunan apa yang sedang Anda buat?’ orang harus segera dapat menarik abstraks, atau diagram, dari gagasan arsiteknya.

KONSEP DAN RANCANGAN ARSITEKTUR
Perumusan konsep bukanlah merupakan suatu kegiatan yang otomatis. Ia memerlukan upaya yang terpusat untuk membuat suatu konsep yang secara layak memadukan hal-hal yang tidak dipersatukan sebelumnya. Perumusan konsep adalah suatu kegiatan yang tidak biasa bagi kebanyakan orang, dan para mahasiswa arsitektur mengalami banyak kesulitan untuk menguasainya seperti juga dalam aspek-aspek perancangan yang lain. Tiga masalah merintangi pengembangan keahlian dalam membuat konsep. Rintangan itu meliputi tentang masalah komunikasi, kekurangan pengalaman, dan pembangkitan hirarki.
Masalah komunikasi yang paling sulit bukanlah menjelaskan konsep kita kepada orang lain, melainkan dalam menjelaskan gagasan kita kepada diri sendiri. Masalah lain yang mempengaruhi perumusan konsep adalah komunikasi grafis. Ironisnya, banyak mahasiswa yang ragu-ragu membuat sketsa sebagai bagian dari proses mereka dalam mengembangkan konsep.
Masalah yang kedua, merupakan perluasan dari masalah yang pertama. Karena banyak bangunan yang dibuat tanpa menggunakan konsep, dan hampir semua kritikus dan banyak arsitek menghindarkan menulis tentang ini, relatif mudahlah bagi seorang peracang yang baru mulai untuk menjadi tidak berhasrat pada konsep-konsep dan tidak memahami peranan yang mereka mainkan dalam perancangan bangunan.
Masalah ketiga, dapat disederhanakan sebagai masalah mengidentifikasi hirarki-hirarki yang tepat. Arsitek harus sanggup membuat penilaian yang membedakan. Pemahaman akan hubungan-hubungan antara gagasan, wawasan, dan konsep dapat membantu memecahkan ketiga masalah tersebut.
Gagasan adalah pemikiran nyata yang spesifik yang kita miliki sebagai hasil pemahaman, pengertian, atau pengamatan. Bangunan dan rancangan bangunan terdiri dari banyak keputusan kecil, dan keahlian harus dikembangkan dalam menimbulkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang tanggap terhadap berbagai keragaman persoalan yang muncul.
Wawasan adalah gagasan yang dianggap tidak penting, namun selalu masih terdapat kemungkinan bahwa ada suatu dasar kebenaran yang penting yang tersembunyi bahkan dalam setiap ucapan yang fasih. Dalam arsitektur, suatu konsep yang tepat untuk suatu proyek mungkin terus-menerus menolak artikulasi, dan mungkin perlu untuk menciptakan wawasan sebagai suatu langkah dalam merumuskan suatu konsep yang tepak, baik sebagai suatu teknik kunci dan siasat tekan harga jual rumah maupun sebagai akibat mutlak dari kekurangan pengalaman dalam perancangan dan perumusan konsep.
Konsep serupa dengan gagasan, dalam arti keduanya merupakan pemikiran spesifik yang kita miliki sebagai hasil dari suatu pemahaman. Dalam arsitektur, suatu konsep mengidentifikasi bagaimana berbagai aspek persyaratan untuk suatu bangunan dapat dipersatukan dalam suatu pemikiran spesifik yang langsung mempengaruhi rancangan dan konfigurasinya.
Skenario konseptual meluaskan pernyataan konsep, dapat digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana semua gagasan dan persoalan penting yang dapat ditinggalkan dalam suatu pernyataan konsep yang lebih singkat dapat dipersatukan dalam satu pernyataan cerita yang panjang. Sekalipun bagian-bagian tiap skenario mungkin telah jelas ditetapkan dari sejak awal, skenario menggunakan pengertian-pengertian yang diperoleh selama proses perancangan untuk mempertalikannya bersama.

HIRARKI KONSEP
Suatu pemahaman tenatang hubungan hirarkis antara wawasan, gagasan, konsep, dan skenario konseptual menjadi landasan untuk mengembangkan suatu proses guna melahirkan konsep-konsep yang tepat untuk bangunan.
Dalam tahap-tahap awal suatu proyek, gagasan mempunyai kesempatan yang baik untuk dapat dipahami, terutama bila pikiran terbuka bagi pemikiran pembaharuan, tidak biasa, dan imajinatif, yang mungkin membantu memecahkan perancangan yang unik atau sulit dan persyaratan yang bersifat perencanaan. Sehingga kemiripan, kemungkinan interaksi, dan pengelompokan gagasan menjadi nyata. Pengamatan-pengamatan ini menciptakan dasar yang memberikan argumen terus-menerus untuk melakukan segala sesuatu.

LIMA JENIS KONSEP
1. Analogi (memperhatikan hal-hal lain)
Analogi adalah sarana yang paling sering digunakan untuk merumuskan konsep. Analogi mengidentifikasi hubungan harafiah yang mungkin di antara benda-benda. Sebuah benda diidentifikasi dan mempunyai semua sifat khas yang diinginkan, dan dengan demikian ia menjadi model untuk proyek yang ada.
2. Metafora (memperhatikan abtraksi-abtraksi)
Metafora, mengidentifikasi hubungan di antara benda-benda. Tetapi hubungan-hubungan ini lebih bersifat abstark dibanding nyata. Perumpamaan adalah metafora yang menggunakan kata-kata “seperti” atau “bagaikan” untuk mengungkapan suatu hubungan. Metafora dan perumpamaan mengidentifikasi pola hubungan sejajar sedangkan analogi mengidentifikasi hubungan harafiah yang mungkin.
3. Hakikat (memperhatikan di luar kebutuhan-kebutuhan program)
Hakikat menyaring dan memusatkan aspek-aspek persoalan yang lebih rumit menjadi keterangan-keterangan gamblang yang ringkas. Hakikat mengandung pengertian-pengertian ke dalam aspek yang paling penting dan intrinsik dari benda yang dianalisis. Suatu pernyataan tentang hakikat sesuatu juga dapat merupakan hasil penemuan dan identifikasi akar-akar suatu pokok persoalan.
4. Konsep programatik (memperhatikan syarat-syarat yang dinyatakan)
Tidak semua konsep menangkap hakikat suatu proyek, tidak pula semua konsep melambangkan fungsi semua kegiatan dalam suatu bangunan. Konsep dapat dikembangkan sekitar persoalan-persoalan yang lebih pragmatis yang sering dengan gamblang diidentifikasi dalam program bangunan.
5. Cita-cita (memperhatikan nilai-nilai umum)
Bila arsitek tidak memiliki cita-cita untuk acuan dan menggunakannya dalam konseptualisasi dan mengembangkan rancangan-rancangan mereka, tugas mereka akan lebih sulit.
Wawasan, gagasan, konsep, dan skenario merupakan suatu rangkaian kesatuan kontinum yang dapat menjadi dasar penting bagi arsitektur. Pencaharian akan konsep yang tepat dan penerapannya dapat membantu menciptakan arsitektur yang baik.

Cara Perhitungan Proyeksi Penduduk

GARASI

Proyeksi Penduduk sangat penting dilakukan untuk memperkirakan jumlah penduduk di masa mendatang. Pada umumnya proyeksi penduduk diperlukan untuk tahapan perencanaan jangka panjang suatu wilayah (kelurahan, kecamatan, propinsi, bahkan negara).

Pada masa dahulu, pemerintah melakukan ‘population projection’ terutama untuk keperluan pajak atau keperluan mengetahui besarnya kekuatan negaranya. (Muliakusuma)
  
Proyeksi Penduduk digunakan untuk memperediksi kebutuhan di masa mendatang.
 
Misal : Kebutuhan akan jumlah rumah (perumahan), kebutuhan ekonomi, ketersediaan sumber daya alam.

Ada beberapa jenis Perkiraan Penduduk, diantaranya :
  1. INTERCENSAL (INTERPOLASI), interpolasi merupakan suatu perkiraan mengenai keadaan penduduk di antara 2 sensus (data) yang kita ketahui.
  2. POSTCENSAL ESTIMATED, merupakan perkiraan mengenai penduduk setelah dilakukan sensus. Prinsipnya sama yaitu pertambahan penduduk adalah linear.
  3. PROJECTION (PROYEKSI), perkiraan penduduk berdasarkan sensus (biasanya sensus terakhir).
Pada bahasan kali ini, saya akan menguraikan cara perhitungan proyeksi penduduk untuk jenis Interpolasi dan Potential Estimated.

INTERCENSAL - INTERPOLASI  
interpolasi merupakan suatu perkiraan mengenai keadaan penduduk di antara 2 sensus (data) yang kita ketahui. Pada perhitungan interpolasi, jumlah pertumbuhan penduduk dianggap linear, yang artinya setiap tahun penduduk akan bertambah dengan jumlah yang sama.
 Rumus Perhitungan Proyeksi Penduduk dengan Intercensal

Contoh Soal dan Perhitungannya,
Diketahui jumlah penduduk di Kota Kawai pada tahun 1961 adalah 97 juta jiwa. Sedangkan pada tahu 1971 adalah 118,2 juta. Berapakah estimasi jumlah penduduk pada tahun 1967?
Jawab:
Diketahui :    
Po = 97 jt (tahun 1961)
 
Pn = 118,2 jt (tahun 1971)
 
m = 1967 – 1961 = 6
 
n = 1971 – 1961 = 10
 
 

 maka estimasi jumlah penduduk pada tahun 1067 adalah 109,72 juta.

POSTCENSAL ESTIMATED
 
Adalah perkiraan penduduk setelah dilakukan sensus. Prinsipnya pertambahan penduduk dianggap linear, yang artinya setiap tahun penduduk akan bertambah dengan jumlah yang sama.
 Rumus Perhitungan Proyeksi Penduduk dengan Postcensal Estimated 

Contoh Soal dan Perhitungannya, 
Diketahui jumlah penduduk di Kota Dumai pada tahun 2000 adalah 97 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 adalah 118,2 juta. Berapakah estimasi jumlah penduduk pada tahun 2014?
Jawab : 
Diketahui :
Po = 97 jt (tahun 2000)
 
Pn = 118,2 jt (tahun 2010)
 
m = 2014 – 2010 = 4
 
n = 2010 – 2000 = 10

 
   
 





maka estimasi jumlah penduduk pada tahun 2014 adalah 126,68 juta.

Diketahui :    
Po = 97 jt (tahun 2000)
Pn = 118,2 jt (tahun 2010)
m = 2014 – 2010 = 4
 
n = 2010 – 2000 = 10
 
 
 
maka estimasi jumlah penduduk pada tahun 2014 adalah 126,68 juta.