Welcome To My Imajination

Selamat Datang di Dunia 3Dimensi
Terima Kasih Sudah Berkunjung Saya berharap Blog ini bisa tampil lebih baik lagi tentunya harapan itu merupakan harapan kita semua.. karna itu saya butuh Masukan, Kritikan dan Saran dari teman-teman semua untuk memaksimalkan isi blog ini, sekali lagi Selamat Berkunjung semoga blog ini bermanfaat bagi anda...
@ Creat: By Abank.

Selasa, 22 Oktober 2013

Arsitektur dan Sabun

GARASI


“Nature is not copied but made comprehensible”- Frei Otto
Mengutip pernyataan dari seorang arsitek Jerman- Frei Otto, kita dapat mempelajari bahwa arsitektur dapat menjadi suatu alat untuk memahami kekuatan-kekuatan alam yang terjadi di sekitar kita. Ketika kita berbicara mengenai sabun, kita mengasosiasikannya dengan air, mandi, licin, busa dll. Namun terdapat karakteristik dari sabun yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan juga tidak dapat kita rasakan begitu saja. Karakteristik tersebut misalnya adalah bagaimana sabun dapat terbentuk dan bagaimana bubbles yang dihasilkan dapat mempertahankan bentuknya yang bulat meskipun memiliki layer yang sangat tipis. Mengapa bubble memiliki bentuk bulat? Mengapa tidak berbentuk kubus, limas, piramid atau bentuk geometris lainnya? Hal ini menjadi menarik untuk dibahas. Seingat saya ketika mempelajari mengenai bubbles adalah bahwa hal ini dikarenakan internal forces berupa surface tension dari bubbles tersebut. Tension dari layer bubble berusaha untuk menyusutkan bubble menjadi bentuk geometris yang memiliki surface area paling kecil yaitu bentuk bulat ini. Coba saja kita meniup bubbles. Pertama-tama bentuknya mengalami suatu distorsi dan lambat laun ketika seluruh permukaan bubbles bersentuhan dengan udara, maka bentuknya berubah menjadi bulat karena harus mempertahankan surface area yang minim (lihat tahapan pembentukan bubbles dari bentuk tak beraturan sampai menjadi bulat yang sempurna pada Gambar1). Dari sini kita dapat menemukan bahwa bentuk bubbles tidak melulu berbentuk bulat. Sebenarnya bubbles juga dapat diciptakan menjadi bentuk-bentuk geometris lain seperti kubus maupun tetrahedron namun harus ada external force (gaya dari luar) yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Lalu bagaimana fenomena ini dapat diterapkan dalam arsitektur?

Karakteristik dimana layer yang sangat tipis dapat menjadi kuat diaplikasikan pada atap Munich Stadium oleh Frei Otto. Apabila kita melihat gambar stadium ini, bentuknya tidak bulat seperti bubble namun mengambil karakteristik desain dengan menggunakan minimal surface seperti pada bubble sabun. Munich stadium memiliki bentang lebar (1443 kaki) sehingga Otto memperlakukan atap seperti layer bubble yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga tension dari material fabric yang digunakan dapat membuat struktur menjadi stabil. Karena fabric ditahan oleh struktur berupa kabel maka bentuk atap dapat menajdi macam-macam (tidak hanya bulat). Maka aplikasi dimana bubbles dapat dibentuk menjadi bentuk yang bermacam-macam asal ada external force yang menyebabkannya dipalikasikan pada atap stadium ini. Kabel ini menjai suatu external force yang dapat mempertahankan atap dengan layer yang sangat tipis supaya dapat tetap berdiri (tidak collapse). Ini merupakan salah satu contoh bagaimana arsitektur dapat berperan untuk memahami fenomena alam dari soap bubbles yang ada di sekitar kita. Kita juga dapat meneliti lebih lanjut mengenai proses pembuatan sabun untuk mengahasilkan suatu karya yang baru.

Referensi: http://www.exploratorium.edu/ronh/bubbles/

Geometri Tanpa Batas

GARASI

Leonardo Da Vinci : Geometri Tanpa Batas

Filed under: classical aesthetics,process — miktha24 @ 08:36 
Tags: 
Leonardo Da Vinci : seorang buta huruf. Benarkah ??? Demikianlah sebaris teks terjemahan yang tersebutkan dalam buku “Sains Leonardo “ karangan Fritjof Capra di baris pertama halaman dua pada bagian pendahuluan. Sebuah buku yang mencuri perhatian saya akan keagungan sejati dari sang Genius Leonardo Da Vinci- sang Penafsir alam semesta yang terus mengiangi pikiran sadar saya dalam kelas Geometri dan Arsitektur. Omo sanza lettere,begitulah kira-kira teks aslinya. Namun, itu bukan soal yang harus digarisbawahi karena quotes itu melainkan hanya semacam ironi dan kebanggaan Leonardo atas metode barunya. Sehingga saya pun ikut tergelitik untuk meng-copy paste teks itu dan menaruhnya pada bagian awal tulisan ini.
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Leonardo adalah representasi peradaban sintesis antara sains dan seni, atau lebih ekstrim lagi bahwa sesungguhnya Leonardo adalah pendiri sejati sains modern, bukan Galileo Galilei yang selama ini diagung-agungkan. Mengapa tidak ? andai saja para pemikir ilmiah barat telah menemukan notebook nya yang memuat kurang lebih 13.000 halaman dan langsung mempelajarinya secara detail setelah kematiannya.  Karya-karyanya yang sungguh luar biasa membuktikan kepada kita bahwa betapa imajinasi itu tanpa batas dan bisa melampaui pengetahuan yang ada. Namun, tidak banyak yang tergerak untuk mempelajari karyanya pada masa itu (masa Renaisans) karena belum terekspos, barulah beberapa abad setelah kematian nya, transkrip-transkrip ilmiahnya tergali dan memberikan dentuman yang sangat keras di tiap masanya dengan berbagai karya disiplin ilmu.
Salah satu yang menjadi ketertarikan saya adalah  bagaimana Leonardo mengeksplorasi bentuk geometri dalam kajian ilmiahnya. Ada tiga jenis transformasi kurvilinear yang sering digunakan Leonardo dengan berbagai kombinasi. Pada jenis pertama, sebuah bentuk dengan satu sisi kurvilinear digeser ke sebuah posisi baru sedemikian sehingga kedua bentuk itu saling overlap (lihat gambar 1). Karena kedua bentuk tersebut identik, dua bagian yang tersisa ketika bagian yang dimiliki bersama itu (B) dikurangi, pasti mempunyai luas yang sama (A=C). Teknik ini memungkinkan Leonardo mengubah bidang apa pun yang dibatasi oleh dua kurva identik menjadi sebuah bidang segi empat, artinya, “mengubah menjadi segi empat”.
Gambar 1 : Transformasi dengan translasi (pergeseran)
Transformasi jenis kedua diperoleh dengan memotong sebuah segmen dari suatu bentuk tertentu, misalnya sebuah segitiga, dan kemudian melekarkannya lagi pada sisi yang lain (lihat gambar 2). Bentuk kurvilinear yang baru, mempunyai luas yang sama dengan  segitiga awal. Seperti diterangkan oleh Leonardo dalam teks yang menyertainya: “Aku akan mengambil b dari segitiga ab, dan aku akan melekatkannya lagi pada c…Kalau aku melekatkan lagi kepada suatu bidang apa yang telah kuambil darinya, maka bidang itu kembali pada keadaan semula”. Ia sering menggambar segitiga-segitiga kurvilinear semacam itu, yang diberi nama falcate(falcates), diturunkan dari istilah falce, kata dalam bahasa Italia yang berarti sabit (scythe).
Gambar 2 : Transformasi sebuah segitga menjadi falcate
Transformasi jenis ketiga Leonardo melibatkan deformasi bertahap dan bukannya gerakan bentuk-bentuk tetap, misalnya, deformasi sebuah persegi panjang, seperti ditunjukkan dalam gambar 3. Kesetaraan kedua bidang datar ditunjukkan dengan membagi persegi panjang menjadi potongan-potongan tipis paralel, dan kemudian mendorong setiap potongan ke posisi baru, sehingga kedua garis lurus vertikalnya berubah menjadi kurva.
Gambar 3 : Deformasi sebuah persegi panjang
Leonardo begitu senang dalam menggambar berbagai variasi tanpa akhir persamaan topologis ini, sebagaimana para matetmatikawan Arab pada abad-abad sebelumnya takjub ketika mengeksplorasi berbagai variasi persamaan aljabar. Namun yang khas dalam geometri Leonardo adalah variasi bentuk-bentuk geomteris tanpa batas di mana luas atau volum selalu dipertahankan, dimaksudkan untuk mencerminkan transmutasi tanpa lelah pada bentuk-bentuk alam yang hidup, dalam kuantitas materi  yang tak terbatas dan tak berubah.
Satu lagi metode disain yang dapat menjadi terapan dasar eksplorasi kita dalam studio perancangan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan kita dapat menemukan ragam bentuk dan konsepsi yang lebih kaya lagi dari tipologi geometri Leonardo ini. Oleh karena itu, saya menyarankan kenapa kita tidak mencobanya…
(Sumber  : Saduran dari buku “Sains Leonardo : Menguak Kecerdasan Terbesar Masa Renasisan” karya Fritjof Capra, 2007)