GARASI
ARSITEKTUR SEBAGAI WARISAN BUDAYA
A. Konservasi Warisan Budaya
Konsep konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis. Maksudnya bangunan yang menjadi obyek preservasi dipertahankan seperti keadaan aslinya. Yang berbentuk puing-puing (tembok, kolom, reruntuhan) tetap ditampilkan dalam wujud puing-puing, seolah-olah sama saja diawetkan.
Sasarannya pun lebih terbatas pada benda peninggalan arkeologis. Konsep yang statis itu kemudian kembali berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis, dengan cakupan lebih luas pula. Sasarannya tidak terbatas hanya obyek arkeologis semata, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan atau kawasan dan bahkan kota bersejarah. Konservasi selanjutnya merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan, yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi.
Bila suatu bangunan atau lingkungan kuno bersejarah dikonversi, bukan lagi berarti bahwa bangunan tersebut sekedar dikembalikan ke bantuk dan fungsi aslinya, dapat saja bangunan kuno tersebut beralih fungsi, misalnya dijadikan museum atau pusat kegiatan budaya.
Lantas, tolok ukur apa yang digunakan untuk mengkaji kelayakan suatu bangunan kuno atau lingkungan bersejarah guna dapat dikonversi? Snyder dan Catanese memberikan enam tolok ukur yaitu : dilihat dari segi kelangkaan (karya yang sangat langka, tidak dimiliki oleh daerah lain); kesejarahan (lokasi peristiwa bersejarah yang penting); estetika (memiliki keindahan bentuk, struktur atau ornament); superlativitas (tertua, tertinggi, terpanjang); kejamakan (karya yang tipikal, mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu); dan kualitas pengaruh (keberadaannya akan meningkatkan citra lingkungan sekitarnya).
Selain keenam tolok ukur tersebut, ada tiga tolok ukur lainnya yang perlu ditambahkan, yaitu : berkaitan dengan nilai sosial (untuk bangunan-bangunan yang bermakna bagi masyarakat banyak), nilai komersial (berkaitan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis) dan nilai ilmiah (berkitan dengan peranannya untuk pendidikan dan pengembangan ilmu).
Dengan sembilan tolok ukur tersebut, dapat ditentukan peringkat dari setiap bangunan kuno yang dinilai layak untuk dikonversi. Bila dikehendaki lebih spesifik lagi, dapat dipertajam dengan tolok ukur citra dan penampilan yang meliputi tata ruang luar, bentuk bangunan, struktur atau konstruksi, interior dan ornament. Tolok ukur ini akan menunjukan kekhasan atau keunikan bangunan, sekaligus mengarahkan strategis penanganannya yang tepat.
B. Daur Ulang Warisan Budaya
Sudah sangat banyak bangunan bersejarah, yang demi kepentingan keuntungan semata-mata dikorbankan. Bahkan yang menjadi korban bukan hanya bangunannya, juga termasuk manusianya. Proyek-proyek Urban Renewal yang serba gigantic kemudian berubah menjadi Urban Removal, karena penduduk asli yang semula eksis, terpaksa harus keluar dari kediamannya. Padahal kota yang baik adalah yang secara jujur dapat menampilkan kisah sejarah kota, berikut warganya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sepatutnya bila para arsitek, perencanaan kota, developer dan penentu kebijakan, tidak melecehkan warisan budaya yang telah menjadi bagian dari mosaik kota, yang berperan kunci dalam penciptaan jati dirinya.
Dalam kenyataannya, masih terdapat berbagai mitos tentang konservasi arsitektur dan pendauran-ulang yang sangat patut untuk dipertanyakan. Mitos-mitos tersebut yaitu : Pertama, bahwa biaya pendauran-ulang lebih mahal daripada membangun baru. Generalisasi semacam ini tidak tepat, karena dalam berbagai kasus terbukti bahwa dengan daur ulang melalui rehabilitasi bangunan dapat dilakukan penghematan. Kedua, mitos bangunan kuno tidak efisien untuk fungsi baru, karena tata-letak, ketinggian langit-langit dan sebagainya tidak sesuai dengan tuntutan mekanikal-elektrikalnya. Mitos ini seringkali muncul hanya karena kesalahan persepsi ataupun praduga saja dari para developer.
Ketiga, mitos bahwa tingkat kekosongan (vacancy rate) untuk bangunan perdagangan dan perkantoran pada bangunan dan kawasan kuno lebih tinggi ketimbang pada bangunan baru. Kenyataan sesungguhnya justru sebaliknya. Keempat, mitos bahwa bangunan kuno yang diremajakan akan memiliki umur yang lebih pendek daripada bangunan baru. Mitos ini juga tidak terbukti, karena selain bangunan kuno sudah membuktikan dirinya dapat bertahan terhadap waktu, juga dengan adanya pendauran-ulang umur bangunan akan lebih panjang. Kelima ialah mitos bahwa sumber dana yang tersedia untuk pendauran-ulang bangunan kuno tidak semenarik untuk bangunan baru.
C. Revitalisasi Kota Lama
Dalam hal ini berbagai langkah nyata dapat dilakukan pada saat yang bersamaan, agar upaya revitalisasi pusat kota lama dapat berhasil, langkah-langkah tersebut yaitu :
Pertama, yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan daerah tentang konversi bangunan dan lingkungan bersejarah dapat lebih menjamin kemungkinan hilangnya bangunan-bangunan kuno (dapat dipertahankan). Kedua, pemerintah beserta para ahli dan konsultan yang kompoten dalam bidang konservasi perlu segera menyusun panduan perencanaan dan perancangan pada kawasan konservasi pusat kota lama. Dengan adanya panduan tersebut diharapkan agar keunikan, karakter dan kekhasan bangunan kuno maupun kawasan bersejarah dapat ditingkatkan.
Ketiga, menyangkut kemitraan pemerintah dengan pihak swasta, dalam suatu bentuk joint venture. Melalui penggalangan dana dan daya kemitraan tersebut, dapat diupayakan revitalisasi kawasan pusat kota lama yang tidak sekedar berorientasi pada kepentingan budaya atau kesejarahan, tetapi juga memiliki nilai ekonomis financial. Dengan demikian, bukan hanya bangunan yang tetap lestari, tetapi kehidupan ekonomi juga dapat diakomodasi.
Keempat, berkitan dengan kepemilikan. Beberapa bangunan kuno yang bermakna sebagai monument atau landmark yang berskala kota, sebaiknya dimiliki oleh pemerintah, atau setidak-tidaknya pemerintah memiliki saham yang cukup besar pada bangunan tersebut, agar tetap memegang peran yang menentukan bagi masa depan bangunan kuno tersebut.
Kelima, sistem intensif dan defentif, bonus dan sanksi, agar dapat diterapkan dalam menggairahkan iklim investasi di kawasan pusat kota lama. Terakhir, menyangkut ketinggian nilai arsitektural dari bangunan-bangunan baru yang pada suatu saat dapat menjadi tanda zaman. Arsitektur masa kini yang dirancang dengan baik akan menjadi monument masa depan. Setiap generasi harus menghasilkan karya arsitektur unggulan yang menjadi pertanda zaman dan mencerminkan perkembangan peradaban masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar