Welcome To My Imajination

Selamat Datang di Dunia 3Dimensi
Terima Kasih Sudah Berkunjung Saya berharap Blog ini bisa tampil lebih baik lagi tentunya harapan itu merupakan harapan kita semua.. karna itu saya butuh Masukan, Kritikan dan Saran dari teman-teman semua untuk memaksimalkan isi blog ini, sekali lagi Selamat Berkunjung semoga blog ini bermanfaat bagi anda...
@ Creat: By Abank.

Kamis, 13 September 2012

Antropologi Arsitektur-3

GARASI


ARSITEKTUR YANG BERIDENTITAS DAN BERJATI DIRI
Identitas suatu arsitektur à jejak peradaban yang ditampilkan sepanjang sejarah à rangkaian arsitektural hasil karya manusia yang dibangun sepanjang sejarah.
Kota adalah sebuah perwujudan arsitektur. Kota adalah suatu karya besar manusia, yang menegaskan suatu cara hidup yang berbeda dari warga desa.
Kevin Lynch à model kota yang baik untuk masa kini, yaitu pertama vitalitas (vitality); kedua rasa (sense); ketiga kecocokan (fit); keempat akses (access); kelima kendali (control).
(1) Vitalitas mengacu kepada kegairahan dan dinamika warga kota dalam menjalankan kehidupan dari hari ke hari. Vitalitas tidak akan hadir tanpa dukungan warga. Vitalitas tidak akan muncul bila warga kota tidak merasa aman, sehat dan nyaman.
(2) Rasa atau sense sebuah kota adalah kejelasan tata ruangnya yang mewujudkan bangunan, sehingga dapat membangkitkan rasa tertentu bagi warganya. Warga mampu mengidentifikasi tempat yang ditinggalinya dengan mudah. Perasaan akan ada tempat bagi kegiatan akan memberi arti bagi pemakainya, karena dapat mengaitkan ingatannya atas peristiwa yang khas dengan kehidupan yang pernah dijalaninya.
Dalam sebuah survey terhadap warga kota Jersey, Lynch mendapat masukan bahwa citra yang mengesankan bagi warga kota atas kotanya terdiri atas unsur monumen (landmark); tepian (edges); jalanan (path) dan noda-noda (nodes).
Tengaran atau monument menghubungkan ingatan kolektif warga terhadap peristiwa yang menyangkut kotanya.
Jalan adalah urat nadi bagi keberlangsungan kegiatan kota. Keseimbangan di antara unsur-unsur ini akan membawa kesan yang berarti bagi warga terhadap kota.
(3) Kecocokan antara ruang kota dan waktu yang diwakili oleh peristiwa serta kegiatan, bermakna bagi pemakainya. Berkaitan dengan hasil karya arsitektural yang diciptakan berdasarkan dimensi keruangan (ruang alam, ruang manusia, ruang masyarakat, & ruang bangunan).
(4) Akses berarti kemampuan memberi kesempatan bagi warga untuk mencapai sumber-sumber daya kota yang mereka butuhkan. Hal ini menuntut suatu penyebaran sumber-sumber pelayanan yang agak merata. Misalnya fasilitas pendidikan, kesehatan, informasi, keadilan, keamanan, rekreasi dan pelayanan lain.
(5) Pengendalian menyangkut lembaga pengendalian oleh pemerintah setempat. Lembaga membuat aturan-aturan yang menyangkut hak penggunaan ruang. Ruang kota terbuka untuk warganya dengan aturan-aturan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Identitas kota akan sangat kuat tertampilkan pada suatu kota yang memiliki kekayaan khazanah warisan arsitektur yang terpelihara dengan baik.
Perlu ditekankan bahwa kegiatan melestarikan warisan arsitektur tidak semata-mata merupakan upaya yang statis dari sudut pandang sosial budaya dan kesejahteraan semata-mata, melainkan harus dilihat sebagai upaya yang dinamis dengan memperhitungkan pula manfaat ekonomisnya.
Revitalisasi kawasan atau bangunan lama dengan suntikan fungsi baru yang menghasilkan keuntungan financial tetap penting untuk dilakukan.
Konsep-konsep infill structure dengan membangun karya arsitektur baru di lingkungan bersejarah agar dapat berdampingan secara serasi dan sekaligus memperkuat citra lingkungan yang sudah terbentuk mesti lebih dikembangkan.
Kota juga sangat peka terhadap masuknya pendatang. Pendatang yang berasal dari berbagai daerah membawa masalah-masalah masing-masing yang sangat beraneka ragam. Kebudayaan daerah asal mengadapi tantangan di lahan yang baru, mengakibatkan masyarakat memiliki sikap peralihan dari yang bergerak lambat ke bergerak cepat sesuai dengan tuntutan suatu kota.
Penataan kota diatur dengan mempertimbangkan perubahan yang akan terjadi melalui (riview) peninjauan kembali penataan ruang kota, yang disusun bersama oleh pemerintah dan masyarakat.
Jati Diri Arsitektur
Jati diri arsitektur mengalami dilematis, di satu pihak menganjurkan upaya peningkatan jatidiri dan citra setempat, antara lain melalui pelestrarian karya arsitektur dan tata ruang tradisional serta konservasi bangunan kuno atau peniggalan colonial. Sementara pihak yang lain menganggap bahwa tidak perlu mempertimbangkan masa lampau, tetapi lebih mendambakan modernitas yang lebih mangacu kemasa depan.
Dari sini muncullah dua aliran dalam arsitektur, yakni: (1) arsitektur sebagai produk, dan (2) arsitektur sebagai proses.
Aliran pertama adalah paham yang menganggap fungsi arsitektur sebagi wadah kegiatan tertentu dengan target khusus yang sudah ditetapkan secara nalar (“bentuk mengikuti fungsi”), misalnya: lapangan terbang, pabrik, kantor sewa pencakar langit dan lain-lain.
Aliran kedua mengacu pada paham bahwa arsitektur sebagai suatu proses tidak bisa lepas dari kaitannya dengan masa lampau, perilaku manusia yang menempati, dan konteks sosio-kulturalnya (“bentuk mengikuti budaya”). Tolok ukur yang dipakai sebagai pegangan bukan lagi kecanggihan teknologi semata-mata, malainkan kesesuaian antara karya arsitektur dengan kebudayaan setempat, dan terciptanya lingkungan binaan yang manusiawi.
Dalam bidang arsitektur, terasa sekali adanya upaya-upaya menemukan kembali identitas atau jati diri dalam setiap karya, baik dalam skala nasional, regional maupun lokal. Gejala tersebut harus tetap dicermati, agar tidak terperangkap kedalam bentuk luar semata-mata, mengutamakan penampilan fisik tetapi mengabaikan makna yang esensial.
Jatidiri sejalan dengan perubahan waktu dan masyarakatnya. Jatidiri pada masyarakat tradisional lebih mewujud sebagai pencerminan kemampuan kreatif masyarakat dalam mengajewantahkan perilaku budayanya dan bukan sekedar kekhasan produk atau artefak budaya yang identik sepanjang waktu.
Dari hasil observasi sepintas, terlihat bahwa kota-kota, khususnya di Indonesia, merupakan ajang “persaingan” aneka gaya arsitektur, baik yang tradisional maupun yang futuristik. Hal ini tidak terlepas dari keberdaan kota-kota di Indonesia yang mengalami masa transisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar