GARASI
DIMENSI RUANG, WAKTU DAN LINGKUNGAN
DALAM ANTROPOLOGI ARSITEKTUR
Ruang Alam, Manusia, Masyarakat dan Bangunan
Ruang Alam
Manusia, kebudayaan dan peradaban yang dihasilkan berada dan terletak di alam beserta hukum yang mengaturnya. Berdasarkan keseimbangan dan keselarasan (synomourphous fit) dengan lingkungan sosial-budaya yang beraneka ragam, manusia kemudian membuat tempat tinggal atau rumah dan sebagainya. Kualitas sebuah tempat tinggal yang baik senantiasa berbanding lurus dengan keselarasan terhadap alam sekitarnya. Ketentuan tersebut merupakan dasar ekologi manusia.
Dalam bahasa arsitektur biologik ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat dibentuk menjadi corak alam, antara lain terdiri atas : tanah, air, udara dan api yang menjadi dasar bagi lingkungan manusia dan secara kuat mempengaruhi kualitas lingkungan buatannya. Tanah, air, udara dan api juga dikenal sebagai anasir dasar yang terdapat di seluruh penjuru dunia dan hampir semua kebudayaan.
Ruang alam kita juga dapat dibedakan terdiri atas batu, tumbuh-tumbuhan, binatang dan iklim. Pengaruh lainnya ialah suhu, kelembaban udara, cahaya dan bobot serta perwujudan materi, yaitu : padat, cair, gas dan plasmatic. Pembangunan rumah dan pemukiman diatur menurut corak alam sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Ruang Manusia
Dalam kebudayaan orang Bali, dikenal adanya istilah ‘asta kosala kosali’. Dalam istilah tersebut mengandung pengertian tentang pengetahuan tentang kemampuan yang ada pada diri sendiri. Dalam konteks ini, makna tersebut menyangkut setiap tindakan yang berhubungan dengan perencanaan dan pembangunan pemukiman tentunya memiliki sifat-sifat dasar yang sama, dalam hal ini anatomi dan kekuatan manusia.
Manusia memiliki sifat yang sangat berbeda sesuai dengan kondisinya masing-masing. Yang dimaksud dengan sifat manusia yakni roh, segi-segi fisiologik, psikologis dan lain-lain.
Menurut Heinz Frick, bahwa kesenangan manusia dapat tercapai melalui keseimbangan otak, hati dan tangan (Pestalozzi). Tempat tinggal atau perumahan merupakan salah satu pengertian ruang yang berhubungan dengan dasar kehidupan manusia. Badan manusia secara material ditutupi oleh pakaian dan perumahan. Disamping itu juga dibungkus oleh dimensi yang bersifat non material seperti kebudayaan ideasional, kesenangan, kebahagiaan, dan kepandaian serta perasaan.
Di samping berbagai hal seperti yang telah disebutkan, juga disadari bahwa pengertian ruang sejauh berhubungan dengan manusia, merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan terkadang cukup sulit untuk dijabarkan. Oleh G. Van Der Leew menyatakan sebagai berikut : Sifat perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan, kelahiran dan kematian, hubungan saudara dan hubungan lain, suku atau marga, pembagian pekerjaan di antara umat manusia, rumah dan kampung, mata air dan sungai, pohon-pohon dan hewan piaraan serta sahabat dan musuh dari luar.
Ruang Masyarakat
Setiap saat atau dari waktu ke waktu manusia melakukan sesuatu dalam hubungan yang berimbang dengan kemanusiaan dan alam. Kesulitan-kesulitan senantiasa terdapat pada manusia dan persepsi atau citra dirinya, dalam hubungannya sebagai individu terhadap masyarakatnya. Kesulitan utama yang muncul di bidang perumahan, pembangunan dan pemukiman, lahir disebabkan oleh pengertian yang sangat beragam pada masing-masing daerah atau Negara.
Hal ini tentunya memang mudah, namun yang terpenting ialah terselenggaranya tempat perlindungan yang nyaman bagi manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang, agar kehidupan manusia menjadi manusiawi.
Ruang Bangunan
Pembuatan bangunan atau gedung membentuk ruang dengan dinding-dinding yang biasanya berfungsi sebagai penyangga beban. Pada tahap perencanaan, kita merancang bentuk ruang atau dinding ruang sebagai batas antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. Karena dinding, loteng dan atap membentuk suatu ruang, maka jendela, pintu dan lubang-lubang lainnya menjadi penghubung antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
Paul Wheatley, membedakan dua sistem tradisi yang berkaitan dengan ruang dan bangunan. Pertama, sistem kebangkitan (generation) dan sistem paksaan (imposition). Sistem kebangkitan terjadi bila seluruh jaringan ruang serta unsur-unsur terkait timbul dari nilai-nilai setempat oleh masyarakatnya. Dalam hal ini, menurut Wheatley, sistem dari luar sedikitnya mungkin bersinggungan dengan sistem tempat tersebut, meski demikian sistem yang ada dalam kehidupan. Sebaliknya, sistem paksaan terjadi jika jaringan ruang serta unsur-unsur terkait datang dari luar dan menghapus serta menindas sistem setempat. Disini ada suatu paksaan atas sesuatu yang telah berlaku dan terjadi ketidakberdayaan lokal terhadap non-lokal.
Dalam sistem kebangkitan, seluruh penataan sesuai dengan keadaan kebudayaan dan ruang kota dibagi sesuai dengan lapisan sosial serta tata nilai yang dipahami warga. Pusat kekuasaan dalam sistem kebangkitan menjadi acuan penataan ruang dengan diri penguasa sebagai titik awalnya. Semakin jauh dari pusat, semakin kurang kekuatan penataan. Jati diri masyarakat bergabung dengan kekuasaan, terutama bagi mereka yang berada di dalam batas tegas tata ruang kota.
Tata ruang hasil suatu sistem paksaan senantiasa menimbulkan perbenturan nilai antara yang mengatur dan yang diatur. Penguasa memaksakan suatu pola yang memudahkan pengawasan demi pengendalian dan mempertahankan kekuasaannya. Penguasa mengelompokan kelompok-kelompok ‘lain’ tersebut dapat berupa desa kecil atau kampung, di mana kelompok yang ada di dalamnya menemukan identitas mereka melalui asosiasi jati diri asal dengan kediaman atau kampung mereka.
Pembedaan kelompok dalam pola demikian amat tegas dan kesenjangan antar kelompok semakin tajam. Hanya ruang umum yang berkaitan dengan perdagangan, misalnya pasar yang memungkinkan pertemuan antar kelompok.
Dalam kenyataannya, pengendalian dan pengelompokan juga terjadi pada ruang yang dikuasai masyarakat lokal atau sistem kebangkitan. Hal ini sering terjadi pada daerah atau lokasi pantai yang banyak pendatangnya, yakni terhadap mereka yang ‘dikampungkan’, perasaan diperintah tetap muncul. Meski demikian, pola ruang yang dominant adalah dari masyarakat lokal yang lebih mengacu pada paham kosmologis dari pada penjajahan.
Pasar dan alun-alun adalah ruang yang menetralkan berbagai akses. Ruang-ruang bangunan besar di Indonesia banyak yang jaya berkat tanah air, karena lokasinya yang berada pada muara sungai dan membuka diri ke laut. Ruang-ruang bangunan demikian, pada masa berkembang dari sistem sendiri (kebangkitan), juga berciri cepat berubah, karena warganya yang lebih banyak berorientasi dagang.
Hal ini berbeda dengan ruang pedalaman. Ruang bangunan pantai berkembang lebih pesat daripada ruang bangunan pedalaman berkat perdagangan. Dalam ruang demikian, kemajemukan kebudayaan juga lebih kaya berkat silang-silang budaya dari luar daripada dalam ruang bangunan pedalaman yang cenderung konservatif. Meski demikian, dalam perkembangan masa kini, pantai dan sungai kurang mendapatkan perhatian.
Ruang bangunan adalah suatu karya besar manusia. Sebagai hasil manusia, ruang bangunan mengalami pasang-surut perkembangan dengan bermacam-macam sebab. Sejarah ruang bangunan yang ada di dunia memperlihatkan bahwa ada yang tumbuh dengan cepat kemudian lenyap disebabkan oleh bencana alam, dan adapula yang bertahan dan mengalami kejayaan lalu menyusut karena persaingan. Perkembangan ruang bangunan identik dengan daur hidup manusia yang memiliki titik mula, meskipun terkadang lahir dari suatu oleh yang lama serta mungkin ada titik hilang atau titik akhirnya.
Banyak ruang bangunan di dunia mengambil model kosmologis yang juga ikut mengatur stratifikasi sosial warganya, masih dapat bertahan dan berkembang hingga saat ini. Model demikian bekerja baik dalam konteks semangat zamannya yang memusatkan kekuasaan pada penguasa tunggal sebagai pusat kosmos dan tata ruang mengacu kepadanya.
Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang
Masa Lalu
Pembangunan dan kebudayaan merupakan perwujudan sejarah manusia. khususnya pada masa lalu, pembangunan rumah kediaman atau tempat tinggal mengandung pengertian sebagai suatu tanda kehidupan atau adanya kegiatan dari masyarakat setempat. Kehidupan senantiasa mengacu kepada agama, kebudayaan dan masyarakat.
Sebagai ilustrasi, menurut ajaran agama Hindu kehidupan manusia dapat dipahami sebagai suatu jalan yang berbentuk bundar dengan pembagian kehidupan melalui empat tingkatan yaitu :
Pertama : Setelah melampaui masa kanak-kanaknya, dengan melalui upacara mapra (mendapatkan tali suci, seorang laki-laki menyerahkan diri kepada seorang guru untuk mendapatkan pendidikan. Dalam pendidikan tersebut ia diajari kitab-kitab Weda dan upacara peribadatan yang perlu dihayati dan diperhatikan seumur hidup.
Kedua : Laki-laki tersebut kemudian menikah dan menjdai kepala keluarga. Dalam kehidupan perkawinan tersebut, ia berusaha mendapatkan anak laki-laki, karena hanya seorang anak laki-laki yang dapat melanjutkan pelajaran dan tradisi Weda dan menyampaikan kurban nenek-moyang untuk menjamin kesejahteraan bagi yang telah meninggal dunia.
Ketiga : Sebagai akhir kehidupan aktif, laki-laki tersebut mengundurkan diri atau bersama dengan istrinya dalam kensunyian hutan diluar daerah kediaman, untuk menekuni hidup keagaam.
Keempat : Pada tahap akhir ini yang tersisa adalah penolakan dirinya. Tali suci dan hutang terhadap kemasyarakatan diabaikan. Ia ingin mencapai pembebasan diri, mati dalam keadaan hidup, menjadi penebus. Inilah yang dimaksud dengan istilah Moksha, tujuan utama pemeluk ajaran Hindu.
Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari waktu masih tetap dalam pengertian yang seimbang dengan lamanya hidup manusia, walaupun penerapan pengertian tersebut menjadi sistem lingkaran hubungan yang bersifat non-komunikatif. Pembangunan atau pembuatan rumah dilaksanakan oleh manusia sebagai calon penghuni dengan kehendaknya. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan terhadap perumahan semakin mengalami peningkatan, demikian juga halnya tingkat keahlian dan kemampuan membuat bangunan juga semakin meningkat. Selanjutnya terjadilah sebuah tahapan spesialisasi, yang mendorong lahirnya masa kini.
Masa Kini
Masa kini atau masa sekarang merupakan waktu peralihan antara masa lalu (sejarah) dan masa depan. Cara manusia membangun telah mengalami perubahan. Pada masa lalu, atap merupakan perlindungan dan tujuan utama kediaman, sedangkan masa sekarang sudah jauh berbeda, disebabkan penghuni bermukim lebih padat.
Pada masa kini dibutuhkan keamanan untuk memberikan jaminan terhadap rahasia pribadi, sehingga banyak dinding-dinding yang dibangun. Pada masa kini dibutuhkan kesenangan hidup melalui berbagai fasilitas. Penghuni tidak dapat membangun rumahnya sendiri karena telah diganti oleh teknologi serta orang yang ahli.
Arsitektur dan teknologi moderen terkadang dirasakan oleh manusia sudah tidak selaras lagi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pengertian waktu juga berubah karena corak kehidupan yang lama tidak dapat dipergunakan lagi. Waktu masa kini dibagi secara lebih halus dan lebih terinci. Waktu disiang dibagi atas 12 jam, demikian untuk malam. Satu jam dibagi atas 60 menit dan satu menit terdiri atas 60 detik.
Pengertian waktu masa kini, seperti juga dalam pengertian arsitektur moderen, adalah pengertian Barat. Pengertian Barat memandang waktu sebagai garis lurus atau linier.
Masa Akan Datang
Waktu masa depan mengacu kepada konsep tata ruang yang berorientasi pada kemampuan mengantisipasi perubahan. Dalam konteks ini, penting utnuk mempertimbangkan asumsi dari pakar sosiologi kota, Manuel Castells, bahwa pada masa depan akan muncul masyarakat jaringan (network society) sebagai hasil perkembangan teknologi informasi yang semakinmeniadakan batas wilayah dan memungkinkan individu lebih leluasa dalam menentukan tempat bergeraknya.
Persepsi, Kognisi dan Perilaku Lingkungan
Persepsi dan kognisi tentang lingkungan
Usaha membentuk persepsi terhadap lingkungan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia secara inheren. Persepsi terhadap lingkungan tersebut mencakup dimensi lingkungan geografis-biosferik, lingkungan kognitif-perseptual, maupun lingkungan simbolik-transendental.
Persepsi dan kognisi tentang lingkungan merupakan komponen dari orienstasi dan pencitraan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. berkenaan dengan pembentukan persepsi kognisi lingkungan, Lewin dan Heider mengungkapkan gagasan utamanya mengenai faktor-faktor sosial dan lingkungan yang merupakan faktor terpenting bagi pembentukan persepsi dan kognisi. Downs dan Stea menyebutkan bahwa ‘perilaku spasial manusia bergantung pada peta kognitif individu yang bersangkutan terhadap lingkungan spasialnya.
Persepsi dan kognmisi tentang lingkungan juga mengandung pengertian tentang kesadaran akan lingkungan. Karena secara sadar pula manusia mencitrakan akan lingkungannya. Represantasi mental selanjutnya berinterkasi dengan proses evaluasi yang memuat komponen-komponen kognitif, emosi dan psikomotorik. Dengan demikian, kesadarn lingkungan menunjukan pula peran kognisi, emosi, psikomotorik. Dengan dimikian, kesadaran lingkungan menunjukan pula peran kognisi, emosi dan psikomotorik, terutama dalam keterkaitannya dengan lingkungan.
Terdapat beberapa pendekatan yang diganakan untuk mengkaji kognisi lingkungan beserta keterkaitannya dengan kebudayaan. Ittelson, mengajukan lima tingkat analisis pada masyarakat dan hubungannya dengan lingkungan, yaitu :
1) Merasa cinta terhadap lingkungan;
2) Orientasi spasial dalam lingkungan;
3) Mengkategorikan dan mengelompokkan fenomena-fenomena lingkungan;
4) Mensistematisasikan cirri-ciri penting lingkungan dalam hubungan atau sebagai penyebab;
5) Memanipulasi lingkungan
Persepsi merupakan “pemaknaan hasil pengamatan” termasuk persepsi tentang lingkungan yang menyeluruh, lingkungan dimana individu berada dan dibesarkan dan kondisi merupakan suatu stimuli untuk suatu persepsi. Setelah mendapatkan stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan “interpretasi” dan pelengkap. Dari proses interaksi tersebut, terbentuklah respons berupa permanent memori yang disebut dengan represantasi mental. Perlu ditekankan bahwa “interpretasi” bergantung pada past experience yaitu agama, nilai, norma dan sebagainya. Secara ringkas, keseluruhan proses tersebut termasuk ke dalam pembentukan persepsi.
Persepsi dan kognisi tentang lingkungan pada berbagai masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda juga memberi nilai tambah dan pengayaan pada satuan-satuan budaya, karena persepsi dan kognisi tentang lingkungan, termasuk lingkungan perilaku akan menunjukan perbedaan antara kebudayaan yang satu dengan kebuayaan yang lain.
Pada tingkatan yang cukup ekstrim, dapat ditemukan bagaimana persepsi dan kognisi tentang lingkungan dapat menyebabkan sekelompok masyarakat dikategorikan sebagai masyarakat yang tidak beradab (uncivilized) bila ditinjau dari sudut pandang pencapaian budaya.
Meski demikian, persepsi berkaitan erat dengan orientasi spasial yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Karena persepsi tertentu, juga ditentukan oleh orientasi ruang yang sarat dengan muatan past experience yang membentuk persepsi masyarakat tertentu tentang lingkungan secara menyeluruh. Persepsi dan orientasi spasial akan membentuk perilaku lingkungan pada sekelompok masyarakat, dan ini menumbuhkan wawasan budaya tertentu pula.
Orientasi spasial dan persepsi dapat dibagi dalam pengertian “alam” dan dunia” , dimana “alam” dimasukan kedalam wawasan romantic pada sekelompok masyarakat yang membentuk orientasi spasial, sedangkan “dunia” termasuk dalam pengertian pengamatan atau lingkungan yang kita sadari.
Perilaku Lingkungan
Interrelasi yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya bermula dari persepsi (psikis), rangsangan (fisik-organis), dan dampak (lingkungan). Ketiga komponen tersebut menjadi masukan dan menyatu, baik pada manusia maupun pada berbagai sistem yang ada didalam lingkungannya.
Dalam menghadapi lingkungan total, manusia tidak memiliki kemampuan secara serempak untuk mengamati, merekam atau memahami totalitas tersebut. Pada tahap ini manusia memusatkan dirinya pada fenomena atau kejadian yang ada didalam lingkungan total tersebut. Dalam langkah selanjutnya, manusia akan mengambil kesimpulan-kesimpulan tertentu mengenai lingkungan total, baik secara induktif maupun deduktif. Dengan kata lain, fenomena baru memiliki makna sebenarnya ketika ia lihat dalam settingnya atau dalam situasi lingkungan yang ada.
Pada saat kita menghubungkan perilaku manusia terhadap lingkungannya, kita akan teringat pola perilaku yang memperlihatkan bahwa manusia sama sekali berlainan dengan jenis mahluk lain yang menghuni lingkungan yang sama. Meski demikian, manusia memiliki kemampuan memberi makna terhadap lingkungan tersebut, terlepas dari apakah makna subyektif atau obyektif. Disamping itu, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungannya sendiri, sesuai dengan apa yang ada di dalam benaknya, lingkungan ini tidak dapat diukur karena berdimensi kognitif-perseptual.
Dengan kemampuan kognitifnya, manusia memberi struktur terhadap lingkungannya. Manusia senantiasa berupaya untuk mendapatkan keselarasan lingkungannya. Altman, menyatakan bahwa interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya, setara dengan orientasi sosial yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial dalam setting ingkungan dimana perilaku tersebut bisa terwujud dalam bentuk “agosentris”, dimana manusia hanya bergantung pada sumber-sumber yang ada disekitar lingkungan, dan holosentris, dimana perilaku memacu kepada konsep hubungan salin atau timbale balik (reciprocal).
Altman, kemudian membagi orientasi sosial tersebut, terhadap pemaknaan ruang kedalam empat unsure, yaitu : (1) private space atau privacy, (2) personal space, (3) teritorial space dan (4) crowding.
(1) Private space atau privacy
Private space secara singkat diartikan sebagai “peluang menciptakan kesendirian”. Untuk mewujudkan, manusia memanipulasi ruang (space). Misalnya dengan jalan menutup pintu kamar atau pintu rumah, pindah tempat, naik gunung atau duduk menyendiri di bawah pohon. Menurut Altman, ada tiga bentuk private space, yaitu : pertama; memanipulasi secara fisik, contohnya sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Kedua; memanipulasi secara perilaku sosial, contohnya : keadaan berdesak-desakan dalam sebuah minibus sebagai alat transportasi umum, seorang membentuk privacy dengan cara menatap kaca minibus tanpa memnadang kiri-kanan. Contoh lainnya ialah dnegan “berkonsentrasi tinggi” sewaktu bekerja, dengan harapn tidak diganggu privacynya. Ketiga; memanipulasi ruang dengan cara psikis, dimana seseorang membentuk autisme atau dunia privacy yang secara psikologis tidak dapat ditembus. Contohnya, seseorang yang secara psikotik berbicara dengan tembok, kemudian dijawab kembali oleh tembok tersebut. Dengan cara itu ia membentuk privacy dengan membangun konstruksi psikis yang tidak bisa ditembus oleh orang luar.
Roberts dan gregor mengidentifikasi sejumlah kenyataan yang terdapat pada orang-orang suku Mehinacu, Brazil-Tengah. Misalnya para wanita tidak mengizinkan laki-laki lain masuk ke dalam bangunan yang berada ditengah perkampungan.
Terdapat banyak hasil kajian budaya menyangkut ruang, khususnya private space. Orang Cina misalnya mengannggap bahwa ruang yang suci dan memiliki tingkat privacy yang tinggi ialah ruang tidur, karena diruang tersebut berlangsung kegiatan yang sangat pribadi. Kelahiran seorang bayi, kematian, ditempatkan di ruang tidurnya. Karena itu orang Cina tidak pernah memperlihatkan kepada tamunya yang baru datang, kamar tidur tuan rumah, karena ruang ini merupakan ruang keramat bagi orang cina.
Canter dan Canter mencatat privacy orang jepang dengan mengamati rumah orang Jepang, yang memiliki dinding-dinding yang tinggi mengelilingi rumah untuk menghalangi penglihatan orang luar yang lewat atau berlalu-lalang.
(2) Personal space
Edward T. Hall dengan kajian proxemic (kedekatan) mengajukan empat zone personal space yang terdapat dalam hubungan sosial yaitu :
(1) Intimate distance : berjarak antara 0 – 8 inci
(2) Personal distance : berjarak antara 1,5 – 4 kaki
(3) Social distance : berjarak antara 4 – 12 kaki
(4) Public distance : berjarak antara 12 – 25 kaki
Intimate distance diciri-cirikan sebagai kedekatan seseorang, sehingga alat indera bisa menangkap stimuli seperti sentuhan, bau dan panas badan. Karenanya orang yang berpelukan atau berciuman diiringi dengan aksi menutup mata karena sentuhannya cukup dekat. Untuk dapat menembus intimate zone, seseorang harus menerima orang yang akan datang dengan proses selektif.
Pada personel distance ditandai jarak yang masih dekat, sehingga ekspresi wajah dan gerakan gestural serta suara masih dapat ditangkap oleh indera meskipun sentuhan fisik sudah tidak terjadi. Contoh personal distance misalnya ruang kerja, meja kerja dan tempat duduk sewaktu menonton film di bioskop.
Social distance ditandai dengan jarak yang cukup jauh sehingga interaksi alat indera dengan orang lain, baik visual atau auditif tidak serinci seperti personal distance. Bagi yang melanggal social distance sama sekali tidak dikenakan sanksi, dan juga tidak terdapat sentuhan. Contoh social distance adalah kuliah umum di perguruan tinggi.
Dalam public distance jarak yang cukup jauh membuat suara dan gerakan selalu ditangkap dengan bantuan teknologi, misalnya melalui pengeras suara atau layar monitor TV, yang dapat ditangkap pada public distance hanyalah gerakan-gerakan dasar saja, misalnya mengangkat tangan atau memukul meja, sedangkan gerakan-gerakan kecil seperti mimik muka sama sekali tidak terlihat. Contoh public distance misalnya penonton sirkus.
(3) Teritorial space
Secara umum, teritorial space memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
a. Penguasaan dan pemilikan terhadap teritori tertentu, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Dalam cirri ini pengendalian teritorial adalah faktor yang paling ditekankan.
b. Tersedianya lokasi atau obyek (benda) misalnya “taman atau kursi itu tempat saya” .
c. Dimiliki oleh individu atau sekelompok orang, misalnya “ruang ini untuk kelompok A”.
d. Teritori memiliki dua fungsi, yaitu :
a. fungsi sosial, misalnya ruang tamu dan ruang makan
b. fungsi fisik, misalnya kursi dan meja memiliki fungsi fisik sebagai tempat duduk
e. Ditandai dengan sombol-simbol, misalnya pagar dan papan nama, yang menunjukan bahwa “ini milik saya” atau “ini wilayah saya”
f. Pelanggaran terhadap teritorial space akan menimbulkan perilaku defensive.
Altman membagi teritorial space ke dalam tiga bagian yaitu : (1) primary territory, (2) secondary territory dan (3) public territory. Primer territory dimiliki sesorang dalam rentang waktu yang relative lama disertai tingkat pertahanan territory yang tinggi pula. Jika terjadi pelanggaran akan ditanggapi dengan serius. Hubungan territory dengan pemilikinya begitu menyatu. Yang termasuk ke dalam primary territory antara lain ialah rumah dan kantor.
Pada secondary territory, penguasaan teritori bersifat sekunder, tidak dimiliki dan disertai dengan pertahanan teritori yang sedang atau moderat, tiak eksklusif dan dilegitimasi untuk beberapa waktu saja. Yang termasuk kedalam secondary territory adalah ruang kelas aatu ruang belajar dan ruang tunggu.
Public territory digunakan oleh banyak orang dan tidak ada yang memilikinya. Wilayah ini memang sengaja diciptakan untuk umum, yang dapat dipergunakan secara bergantian oleh banyak orang. Pada territory ini tingkat pertahanannya sangat rendah, karena pengendalian terhadap teritori ini memang sangat sukar. Yang termasuk teritori ini contohnya ialah pantai Kuta di bali, restoran, taman kota, alun-alun dan lain-lain.
Sisi yang menarik dari kajian teritori ini ialah relasi antara teritori dengan perilaku agresif manusia, khususnya teritori yang memiliki status istimewa, misalnya teritori yang belum biasa ditentukan batasnya, teritori yang maish diperdebatkan dan teritori yang sudah mapan, sering menimbulkan pertengkaran yang berujung pada agresi manusia untuk mempertahankan wilayah masing-masing.
Di samping itu, terdapat wilayah-wilayah yang tidak sembarangan orang bisa masuk kedalamnya, sebagaimana ditunjukan oleh Zeisel, tentang bagaiman keluarga-keluarga Puerto Rico di New York memilih ruang tamu sebagai tempat yang paling suci dan dikeramatkan. Ruang tamu tertutup untuk teman-teman dan keluarga, karena didalam ruang tamu tersebut tersimpan segala harta benda yang tak ternilai harganya.
(4) Crowding
Crowding didefinisikan sebagai suatu pengalaman, keadaan motivasional, perasaan subyektif, yang berhubungan dengan keterbatasan ruang atau ruang yang sempit. Biasanya, kajian mengenai crowding memiliki keterkaitan erat dengan situasi dan kondisi “kepadatan yang tinggi” (high density).
Untuk melepaskan crowding, orang kana berusaha untuk memperluas teritorinya. Sebagai ilustrasi, salah satu bentuk terjadinya crowding adalah keadaan sebuah kamar dengan isi tiga orang anak atau lebih. Kamar tersebut dikategorikan sebagai kamar yang sempit untuk tiga orang anak. Dalam membagi teritori, ketiga anak tersebut sama-sama ngotot untuk mempertahankan ruang masing-masing, maka terjadilah crowding, karena pertikaian teritori.
Keadaan high density yang menimbulkan crowding akan menumbuhkan kreatifitas-kreatifitas manusia untuk melakukan intervensi dan menekan keadaan crowding tersebut. Tindakan tersebut dinamakan reaksi perilaku terhadap crowding. Masyarakat dan budaya jepang dalam hal ini adalah contoh yang sangat baikm dalam reaksi dan perilaku untuk keadaan highdensity atau crowding. Orang jepang membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat di pindah-pindahkan dan dpat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, dan untuk mencocokkan keadaannya dengan ruang atau wilayah yang tersedia. Pola rumah orang jepang memilki beberapa fungsi dan kegunaannya, sesuai dengan kebutuhan sosial, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume serta konfigurasinya dapat diubah-ubah sehingga dapat menghasilkan ruang yang serasi.
Orientasi Ruang
Orientasi ruang yang melingkupi manusia membentuk unit mikro perilaku manusia dalam ruang. Orientasi ini berhubungan erat dengan persepsi dan kognisi tentang lingkungan yang meliputi maysrakat yang bersangkutan. Dalam sistem orientasi yang berlaku mitos,etos dan juga logos yang memberi inspirasi manusia untuk mempersepsi dan berperilaku dalam sistem lingkungan.
Secara umum, orientasi ruang terdiri atas tiga bagian yaitu :
1. Orientasi Geografis
Tata ruang yang berlaku dalam orientasi ini adalah tata ruang geografis. Dalam orientasi ini tidak ditemukan batasan yang jelas, meskipun ada yang menetapkan misalnya dalam bentuk mata angina (Utara, Selatan, Timur dan Barat). Bagi masyarakat yang sistem mata pencaharian hidupnya bersumber dari laut, maka orientasi geografisnya mengarah kelaut.
2. Orientasi Kosmologis
Secara umum, batasan mengenai orientasi kosmologis adalah tata ruang menurut letak manusia pada ruang yang sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dilekatkan pada posisi dalam ruang tersebut. Dalam orientasi kosmologis, sebagaimana persepsi kebudayaan-kebudayaan besar yang ada di dunia, terjadi pemilihan yang terbagi atas, tengah dan bawah.
Posisi atas adalah sesuatu yang mulia, tempat para dewa, suprahuman, yang mesti dicapai oleh manusia. Posisi tengah adalah posisi human, kesadaran, logika dan sebagainya. Sementara posisi bawah merupakan wakil dari keburukan, subhuman, infrahuman, kehampaan, kegelapan dan wakil neraka.
Konsekuensi dari orientasi kosmologis terlihat dalam perilaku manusia dalam tata ruangnya seperti membangun rumah, gedung atau hunian lainnya, yang lebih memetingkan bagian atas. Atap atau bagian rumah dipenuhi dnegan ukiran. Ringkasnya, segala yang manarik perhatian dan indah diletakkan di posisi atas. Bagian bawah rumah tempat memelihara hewan atau ternak, busuk, jorok dan gelap.
Rumah merupakan perlambangan jagad kecil (mikrokosmos), sebuah model surgawi yang merupakan pertemuan antara dunia kematian dan dunia kayangan (masa lalu dan amsa depan), juga merupakan wadah bagi arwah nenek moyang dan wadah bagi penyiapan generasi berikutnya.
Dalam orientasi ruang yang mengacu pada orientasi kosmologis, manusia berusaha berbuat untuk meletakkan fungsi-fungsi tertentu yang sesuai dengan tuntutan posisi yang dimaksukan oleh sistem kepercayaan tertentu (misalnya posisi depan-belakang, atas-bawah, kiri-kanan) sehingga usaha untuk memfungsikan menjadi rangkaian kegiatan tergantung pada masing-masing kebudayaan dengan latar belakangnya yang beraneka ragam.
Sebagian besar kebudayaan di dunia mengakui bahwa posisi human terletak dalam posisi horizontal (posisi tengah). Karena secara fisik manusia harus menghuni dunia tengah, maka dalam pencapaian berikutnya gerakan manusia secara psikis diarahkan ke dunia atas.
Pada dataran horizontal atau dunia tengah terdapat muatan yang bersifat human seperti kesadaran, logika dan nafsu. Pada dataran ini pula peristiwa-peristiwa yang diwujudkan dalam perilaku budaya dicerna dan diolah dalam usaha manusia melakukan interaksi dengan dunia atas dan dunia bawah. Pada dataran inilah manusia melangsungkan hidupnya, memaknakan hidupnya melalui perilaku-perilaku budaya. Misalnya untuk menghubungkan dunia luar dengan dunia dalam, manusia menciptakan pintu. Dengan demikian pintu merupakan wilayah kritis yang sarat dengan sejumlah upacara atau inisiasi, yang pada hakikatnya merupakan suatu ritus. Ritus diselenggarakan agar dapat melampaui suatu tahapan kritis dalams erangkaian kagiatan hidup manusia dengan baik, selaras dan selamat, sejalan dengan tuntutan kosmologis.
Sebagai bagian atau symbol yang menhubungkan dunia luar dengan dunia dalam (rumah), dipintu sering kita temukan ornament-ornamen yang menarik atau menonjol. Misalnya pada daun pintu ditempel sejumlah jimat yang mampu menolak bala yang datang dari luar, disamping juga sering ditemukan ukiran-ukiran dengan estetika yang tinggi diletakkan pada daun pintu, membuat daun pintu dengan bahan yang cukup kuat dan tahan lama.
Pada dataran horizontal, manusia melakukan gerakan ke kiri-kanan atau depan-belakang yang dipersepsikan oleh setiap unit budaya sesuai dengan acuan orientasi spasial yang dimiliki oleh mereka. Pemaknaan posisi kiri-kanan atau depan-belakang sering menghasilkan pemahaman budaya yang lebih intens diantara sesama manusia, terutama dalam kaitannya dengan interaksi manusia dengan lingkungannya.
3. Orientasi Sosial
Orientasi sosial mengacu kepada perkembangan masa lalu atau sejarah, masa kini dan kemungkinan dalam bentuk antisipasi ke depan. Pada masa lalu raja merupakan pusat kekuasaan yang membuat orang berlomba-lomba untuk dapat dekat dengan pusat kekuasaan atau raja.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin pesat dimana sistem kehidupan raja-raja mulai runtuh, nilai orientasi masyarakat yang terpusat pada kekuasaan raja mulai bergeser ke bentuk orientasi lain. Orientasi ini dapat mengarah kepada sector ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Pakar arsitektur dan psikologi ruang, Mimi Lobell, membagi archetype sebagai citra yang berada dalam alam tak sadar kolektif manusia. lobell menganggap bahwa citra tersebut juga tampil dalam tata ruang.
Lobell mengklasifikasikan enam archetype tersebut adalah :
(1) Tata Sensitive Chaos, yang menandai ketidakpastian tat ruang dimasyarakat, yang masih mengandalkan berburu dan mengumpulkan makanan;
(2) Great Round, yang menandai zaman wanita berperan banyak pada permulaan zaman bercocok tanam;
(3) Four Quarters, yang menandai zaman dengan banyak perang dan pahlawan sebagai pujaan;
(4) Pyramid, sebagai zaman Raja Dewa saat penguasa mengasosiasikan diri dengan titisan dewa dan stratifikasi sosial berbentuk piramida;
(5) Radiant Axes, yang menandakan zaman penjajah besar yang mengatur kekuasaan bagai radiasi matahari, dan
(6) Grid, yaitu suatu masyarakat tanpa pusat kekuasaan yang menonjol dan teknokrat berjaya dalam bentuk hubungan jaringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar